Kepemimpinan Transformal dan Kultural
KATA
PENGANTAR
Syukur Al
Hamdulillah, akhirnya penulis bisa menyelesaikan makalah Kepemimpinan
Transformal dan Kultural, dalam mata kuliah Kepemimpinan Pendidikan Islam ini
dengan baik.
Masalah kepemimpinan adalah hal yang
amat menarik untuk di kaji, peranan pemimpin dalam suatu organisasi sebagai steakholder akan menentukan keberhasilan pencapaian tujuan organisasi secara
mutlak. Pemimpin harus mampu menghadapi perubahan zaman yang kian kompleks dan
merambah kedalam berbagai dimensi. Pemimpin harus mampu sebagai manajer yang
bisa mengemudikan laju jalannya
organisasi dalam mengarumi bahtera untuk mencapai visi dan misi dengan baik. Seluruh instrument organisasi adalah sebuah
system yang harus berjalan untuk menjalankan tugas dan fungsinya dari instruksi
yang baik oleh seorang pemimpin.
Terimakasih kami sampaikan kepada
Bapak Prof. Dr. Baharuddin sebagai dosen pengampu, dan kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bermanfaat di masa yang
akan datang.
Akhirnya
dalam makalah ini tentu masih banyak kekurangan dan kesalahannya, kami
mengharap kritik, saran dan masukan dari seluruh pihak yang terlibat demi
sempurnanya makalah ini agar lebih baik.
Penulis
Muh
Asrori
DAFTAR ISI
COVER JUDUL...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ 1
DAFTAR ISI............................................................................................................ 2
A. KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL........................................ 3
1.Teori dan Gaya Kepemimpinan .......................................................... 3
2. Konsep Kepemimpinan Transformasional ......................................... 5
4. Komponen
Perilaku Kepemimpinan Transformasional ...................... 9
B. KEPEMIMPINAN
TRANSFORMASIONAL DALAM ISLAM................. 11
C. Kepemimpinan Kultural................................................................ 15
D. Kesimpulan.............................................................................................. 16
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN KULTURAL
Oleh Muhamad
Asrori
A.
KEPEMIMPINAN
TRANSFORMASIONAL
Dalam bahasa
Inggris, pemimpin disebut leader dari akar kata to lead. Dalam kata kerja
itu terkandung beberapa arti yang saling berhubungan erat: bergerak lebih awal,
berjalan di depan, mengmbil langkah pertama, berbuat paling dulu, mempelopori,
mengarahkan pikiran/pendapat orang lain, membimbing, menuntun, menggerakkan orang
lain melalui pengaruhnya. Dengan demikian, seorang pemimpin adalah
seorang yang bergerak lebih awal, berjalan di depan, mengambil langkah pertama,
berbuat paling dulu, mempelopori, mengarahkan pikiran/pendapat/tindakan orang
lain, membimbing, menuntun, menggerakkan orang lain melalui pengaruhnya.
Pemimpin sering juga disebut dengan berbagai nama: penghulu, pemuka, pelopor,
pengarah, pembimbing, penuntun, dan penggerak.
1.
Teori dan Gaya Kepemimpinan
Teori tentang kepemimpinan memang terus berkembang seiring
dengan perkembangan zaman, dan sampai saat ini terdapat empat fase pendekatan.
Pertama, pendekatan berdasarkan sifat-sifat (trait) kepribadian umum yang
dimiliki oleh seorang pemimpin. Kedua, berdasarkan pendekatan tingkah laku
pemimpin. Ketiga, berdasarkan pendekatan situasional. Keempat, pendekatan
kembali kepada sifat atau ciri pemimpin yang menjadi acuan bagi orang lain.
Pada tahun 1940-an kajian tentang kepemimpinan masih
didasarkan pada teori sifat. Teori kepemimpinan sifat adalah suatu teori yang
mencari sifat-sifat kepribadian, sosial, fisik atau intelektual yang membedakan
antara seorang pemimpin dan bukan pemimpin. Berdasarkan teori ini kepemimpinan
itu di bawa sejak lahir atau merupakan bakat bawaan. Misalnya, ditemukan adanya
enam macam sifat yang membedakan antara pemimpin dan bukan pemimpin, yaitu
ambisi dan energi, keinginan untuk memimpin, kejujuran, dan integritas, rasa
percaya diri, inteligensi, dan pengetahuan yang relevan dengan pekerjaan.
Sedangkan menurut Fayol sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin
adalah sehat, cerdas, setia, jujur, berpendidikan dan berpengalaman. Dari
beberapa teori sifat tersebut ternyata masih belum dapat memberikan bukti bagi
kesuksesan seorang pemimpin.
Sedangkan Menurut Sudjana teori sifat ini dianggap mempunyai
tiga kelemahan. Pertama, tidak ada kesesuaian atau kesamaan pendapat diantara
para pakar tentang rincian sifat-sifat atau ciri-ciri kepemimpinan. Kedua,
terlalu sulit untuk menetapkan sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin
karena setiap orang yang menjadi pemimpin memiliki keunikan masing-masing.
Ketiga, situasi dan kondisi tertentu memerlukan kepemimpinan yang memiliki
sifat dan ciri tertentu sesuai tuntutan situasi dan kondisi.
Sebelum tahun 1960-an berkembanglah teori kepemimpinan
tingkah laku. Teori kepemimpinan ini mengusulkan bahwa teori tingkah laku
tertentu membedakan antara seorang pemimpin dan yang bukan pemimpin.
Berdasarkan teori ini kepemimpinan ini dapat diajarkan. Jadi, untuk melahirkan
pemimpin yang baik dapat didesain dalam sebuah desain khusus. Hal ini seperti
yang diungkapkan oleh Owen bahwa perilaku dapat dipelajari, orang yang dilatih
dalam perilaku kepemimpinan yang tepat akan dapat memimpin secara efektif.
Namun demikian hasil penelitian membuktikan bahwa perilaku kepemimpinan yang
cocok dalam satu situasi belum tentu sesuai dengan situasi yang lain.
Pendekatan prilaku merupakan suatu pendekatan yang
berdasarkan pemikiran bahwa keberhasilan atau kegagalan seorang pemimpin
ditentukan oleh sikap dan gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh pemimpin. Sikap
dan gaya kepemimpinan itu akan tampak ketika pemimpin itu memberi perintah,
membagi tugas dan wewenangnya, cara berkomunikasi, cara mendorong semangat
kerja bawahan, cara memberi bimbingan dan pengawasan, cara membina disiplin
kerja bawahan, cara memimpin rapat anggota, cara mengambil putusan, dan lain
sebagainya. Perilaku yang mendukung adalah sejauh mana seorang pemimpin dapat
melibatkan diri dalam komunikasi dua arah, misalnya mendengar, menyediakan
dukungan dan dorongan, memudahkan interaksi, dan melibatkan para pengikut dalam
pengambilan suatu keputusan.
Pada tahun-tahun selanjutnya berkembanglah kajian-kajian
kepemimpinan yang mendasarkan pada teori kemungkinan. Teori kemungkinan disebut
juga dengan teori situasional yang mendasarkan bukan pada tingkah laku seorang
pemimpin, melainkan pada efektivitas kepemimpinan dipengaruhi oleh situasi
tertentu. Dalam situasi tertentu memerlukan gaya kepemimpinan tertentu,
demikian pula pada situasi yang lain memerlukan gaya kepemimpinan yang lain
pula. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Tannenbaum bahwa gaya
kepemimpinan yang baik adalah perpaduan yang serasi antara suatu macam gaya
dengan struktur tugas dan kekuatan sosial. Pendekatan ini melihat bahwa
pemimpin yang efektif adalah yang bisa fleksibel, mampu memilih perilaku
kepemimpinan yang diperlukan dalam waktu dan situasi tertentu.
Teori kepemimpinan yang berkembang selanjutnya tidak lagi
didasarkan pada sifat, tingkah laku atau situasi tertentu, tetapi didasarkan
pada kemampuan lebih pada seorang pemimpin dibandingkan dengan yang lain, yang
termasuk dalam teori kepemimpinan ini adalah kepemimpinan transformasional, transaksional,
patternalistik, laissez faire, demokratis, otoriter dan karismatik.
Konsep awal tentang Kepemimpinan Transformasional ini dikemukakan oleh
Burn yang njelaskan bahwa kepemimpinan transformasional adalah sebuah peroses
dimana pimpinan dan para bawahannya berusaha untuk mencapai tingkat moralitas
dan motivasi yang lebih tinggi. Untuk memperjelas posisi kepemimpian
transformasional (mentransformasi nilai-nilai) ia membedakannya dengan
kepemimpinan transaksional (jual beli nilai-nilai). Dalam pengertian lainnya,
pemimpin transformasional mencoba untuk membangun kesadaran para bawahannya
dengan menyerukan cita-cita yang besar dan moralitas yang tinggi seperti
kejayaan, kebersamaan dan kemanusiaan.
Seorang
pemimpin dikatakan transformasional diukur dari tingkat kepercayaan, kepatuhan,
kekaguman, kesetiaan dan rasa hormat para pengikutnya. Para pengikut pemimpin
transformasional selalu termotivasi untuk melakukan hal yang lebih baik lagi
untuk mencapai sasaran organisasi.
Kepemimpian Transformasional ini memiliki keterkaitan dengan
kepemimpinan karismatik. Karisma merupakan bagian yang sangat penting dalam
Kepemimpinan Transformasional, namun karisma itu tidak cukup untuk melakukan
proses transformasi. Perbedaan yang paling menonjol adalah para pemimpin
transformasional mencoba untuk memberikan kekuasaan sesuai dengan kapasitas
kewenangan masing-masing dan memberdayakan bawahan tetapi pada kepemimpinan
karismatik boleh jadi pemimpin mencoba untuk membuat para pengikutnya tetap
lemah agar selalu merasa tergantung dan patuh padanya.
Teori kepemimpinan transformasional merupakan pendekatan terakhir yang
hangat dibicarakan selama dua dekade terakhir ini. Gagasan awal mengenai model
kepemimpinan transformasional dikembangkan oleh James McGregor Burns yang
menerapkannya dalam konteks politik dan selanjutnya ke dalam konteks
organisasional oleh Bernard Bass.
Dalam upaya pengenalan lebih dalam tentang konsep kepemimpinan
transformasional ini, Bass mengemukakan adanya kepemimpinan transaksional yaitu
kepemimpinan yang memelihara atau melanjutkan status quo. Kepemimpinan jenis
ini didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan suatu proses pertukaran
(exchange process) di mana para pengikut mendapat imbalan yang segera dan nyata
untuk melakukan perintah-perintah pemimpin.
Sementara itu kepemimpinan
transformasional adalah kepemimpinan yang dipertentangkan dengan kepemimpinan
yang memelihara status quo. Kepemimpinan transformasional inilah yang
sungguh-sungguh diartikan sebagai kepemimpinan yang sejati karena kepemimpinan
ini sungguh bekerja menuju sasaran pada tindakan mengarahkan organisasi kepada
suatu tujuan yang tidak pernah diraih sebelumnya. Para pemimpin secara riil
harus mampu mengarahkan organisasi menuju arah baru.
Menurut Burn, pemimpin bukan saja pemimpin yang memungkinkan terjadinya
proses pertukaran dengan kemauan atau keinginan para pengikutnya, atau Pemimpin
Transaksional, apalagi bagi para pengikutnya yang baru belajar, tetapi dalam
proses selanjutnya perlu pemimpin yang dapat mengangkat dan mengarahkan
pengikutnya ke arah yang benar, ke arah moralitas dan motivasi yang lebih
tinggi atau sering disebut sebagai Pemimpin Transformasional. James MacGregor Burns, dalam Leadership
(pemenang Pulitzer Prize), ” But transformational leadership ultimately becomes
moral in that it raises the level of human conduct and ethical aspiration of
both leader and the led, and thus it has a transforming effect on both.”
Kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai kepemimpinan yang
melibatkan perubahan dalam organisasi (dipertentangkan dengan kepemimpinan yang
dirancang untuk memelihara status quo). Kepemimpinan ini juga didefinisikan
sebagai kepemimpinan yang membutuhkan tindakan memotivasi para bawahan agar
bersedia bekerja demi sasaran-sasaran "tingkat tinggi" yang dianggap
melampaui kepentingan pribadinya pada saat itu.
Perhatian
orang pada kepemimpinan di dalam proses perubahan (management of change) mulai
muncul ketika orang mulai menyadari bahwa pendekatan mekanistik yang selama ini
digunakan untuk menjelaskan fenomena perubahan itu, kerap kali bertentangan
dengan anggapan orang bahwa perubahan itu justru menjadikan tempat kerja itu
lebih manusiawi. Di dalam merumuskan proses perubahan, biasanya digunakan pendekatan
transformasional yang manusiawi, di mana lingkungan kerja yang partisipatif,
peluang untuk mengembangkan kepribadian, dan keterbukaan dianggap sebagai
kondisi yang melatarbelakangi proses tersebut, tetapi di dalam praktek, proses
perubahan itu dijalankan dengan bertumpu pada pendekatan transaksional yang
mekanistik dan bersifat teknikal, di mana manusia cenderung dipandang sebagai
suatu entiti ekonomik yang siap untuk dimanipulasi dengan menggunakan sistem
imbalan dan umpan balik negatif, dalam rangka mencapai manfaat ekonomik yang
sebesar-besarnya.
Pemimpin
transformasional bisa berhasil mengubah status quo dalam organisasinya dengan
cara mempraktikkan perilaku yang sesuai pada setiap tahapan proses
transformasi. Apabila cara-cara lama dinilai sudah tidak lagi sesuai, maka sang
pemimpin akan menyusun visi baru mengenai masa depan dengan fokus strategik dan
motivasional. Visi tersebut menyatakan dengan tegas tujuan organisasi dan
sekaligus berfungsi sebagai sumber inspirasi dan komitmen.
Menindaklanjuti idenya Max Weber
mengenai masyarakat law bureaucracy, John Gregorius Burns menggulirkan ide
“kepemimpinan trnsformasional” pada tahun 1978. Menurut Burns, kepemimpinan
transformasional adalah sebuah kepemimpinan yang melibatkan seluruh elemen
anggota organisasi/masyarakat dalam kepemimpinannya. Oleh karena itu,
kepimimpinan bukan hanya terdiri dari orang yang memimpin saja, akan tetapi
juga melibatkan anggota (followers) dalam proses kepemimpinannya. Hal ini
berdasarkan asumsi bahwa pada kondisi masyarakat yang sudah sangat berdaya;
batas kapasitas pribadi antara yang dipimpin dengan pemimpin sudah sangat tipis
(artinya sudah sama-sama pintar). Masyarakat tidak lagi membutuhkan sosok
pimpinan yang serba bisa dan instruksionis, melainkan pemimpin yang bisa
menampung aspirasi bersama untuk bersama-sama diwujudkan dalam tindakan
kelembagaan yang sistematis.
Lebih
lanjut, kepemimpinan transformasional lebih mengandalkan pertemuan visi kedepan
yang dibangun berdasarkan konsesus bersama antara pemimpin dan anggota. Oleh
karena itu pemimpin tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang bertugas untuk
memberikan visi gerakan dan kemudian mendiseminasikan kepada anggotanya;
peminpin justru menjadi interpreter (penerjemah) visi bersama para anggotanya
untuk di transformasikan dalam bentuk kerja nyata kolektif yang mutual.
3. Definisi Kepemimpinan
Transformasional
Diantara
teori kepemimpinan yang unggul adalah teori kepemimpinan transformasional.
Kepemimpinan transformasional adalah pendekatan kepemimpinan dengan melakukan
usaha mengubah kesadaran, membangkitkan semangat dan mengilhami bawahan atau
anggota organisasi untuk mengeluarkan usaha ekstra dalam mencapai tujuan
organisasi, tanpa merasa ditekan atau tertekan.
Seorang
pemimpin dikatakan bergaya transformasional apabila dapat mengubah situasi,
mengubah apa yang biasa dilakukan, bicara tentang tujuan yang luhur, memiliki
acuan nilai kebebasan, keadilan dan kesamaan. Pemimpin yang transformasional
akan membuat bawahan melihat bahwa tujuan yang mau dicapai lebih dari sekedar
kepentingan pribadinya. Sedangkan menurut Yukl kepemimpinan transformasional
dapat dilihat dari tingginya komitmen, motivasi dan kepercayaan bawahan
sehingga melihat tujuan organisasi yang ingin dicapai lebih dari sekedar
kepentingan pribadinya.
a)
Kepemimpinan
transformasional secara khusus berhubungan dengan gagasan perbaikan. Bass
menegaskan bahwa kepemimpinan transformasional akan tampak apabila seorang
pemimpin itu mempunyai kemampuan untuk:
b)
Menstimulasi
semangat para kolega dan pengikutnya untuk melihat pekerjaan mereka dari
beberapa perspektif baru.
c)
Menurunkan
visi dan misi kepada tim dan organisasinya.
Mengembangkan kolega dan pengikutnya pada tingkat kemampuan dan potensial yang
lebih tinggi.
d)
Memotivasi
kolega dan pengikutnya untuk melihat pada kepentingannya masing-masing,
sehingga dapat bermanfaat bagi kepentingan organisasinya.
Sedangkan berdasarkan hasil
penelitian Devanna dan Tichy karakteristik dari pemimpin transformasional dapat
dilihat dari cara pemimpin mengidentifikasikan dirinya sebagai agen perubahan,
mendorong keberanian dan pengambilan resiko, percaya pada orang-orang, sebagai
pembelajar seumur hidup, memiliki kemampuan untuk mengatasi kompleksitas,
ambiguitas, dan ketidakpastian, juga seorang pemimpin yang visioner.
Kepemimpinan transformasional
(transformational leadership) istilah transformasional berinduk dari kata to
transform, yang bermakna mentransformasilkan atau mengubah sesuatu menjadi
bentuk lain yang berbeda. Seorang pemimpin transgformasional harus mampu
mentransformasikan secara optimal sumber daya organisasi dalam rangka mencapai
tujuan yang bermakna sesuai dengan target yang telah ditentukan. Sumber daya
dimaksud bias berupa SDM, Fasilitas, dana, dan factor eksternal organisasi.
Dilembaga sekolah SDM yang dimaksud dapat berupa pimpinan, staf, bawahan,
tenaga ahli, guru, kepala sekolah, dan siswa.
Konsep awal tentang kepemimpinan transformasional ini dikemukakan oleh Burn
yang menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional adalah sebuah proses di
mana pimpinan dan para bawahannya untuk mencapai tingkat moralitas dan motivasi
yang lebih tinggi. Para pemimpin transformasional mencoba menimbulkan kesadaran
dari para pengikut dengan menentukan cita-cita yang lebih tinggi dan nilai-nlai
moral seperti kemerdekaan, keadilan, dan bukan didasarkan atas emosi
kemanusiaan, keserakahan,kecemburuan, atau kebencian.
Tingkat sejauhmana seorang pemimpin disebut
transformasional terutama diukur dalam hubungannya dengan efek pemimpin
tersebut terhadap para pengikut. Para pengikut seorang pemimpin
transformasional merasa adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan hormat kepada
pememimpin tersebut, dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari pada
yang awalnya diharapkan terhadap mereka.
Dalam buku yag berjudul “Improving Organizational
Effectiveness Through Transformasional Leadership”, Bass dan Avolio
mengemukakan bahwa kepemimpinan transformatif mempunyai empat dimensi. Dimensi
yang pertama disebutnya sebagai idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi
yang pertama ini digambarkan sebagai prilaku pemimpin yang membuat
parapengikutnya mengagumi, menghormati, dan sekaligus mempercayainya.
Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational
motivasion (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional
digambarkan sebagaipemimpin yang mampumengartikulasikan pengharapan yang jelas
terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh
tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui
penumbuhan antusiasme dan optimisme.
Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual
stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu
menubuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap
permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada
bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru melaksanakan tugas-tugas
organisasi.
Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized
consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin
transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan
dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan dan pengembangan karir.
Pemimpin transformasional di sini adalah membimbing
atau memotivasi pengikutnya kearah tujuan yang telah ditentukan dengan cara
menjelaskan ketentuan-ketentuan tentang peran dan tugas. Pemimpin
transformasional memberikan pertimbangan yang bersifat individual,
4.
Komponen Perilaku Kepemimpinan Transformasional
Komponen
Perilaku Kepemimpinan Transformasional. Di bawah ini akan dibicarakan komponen perilaku atau
manifestasi kepemimpinan transformasional agar dalam memahaminya lebih terukur.
Bass dalam Hartanto beranggapan bahwa unjuk kerja kepemimpinan yang lebih baik
terjadi bila para pemimpin dapat menjalankan salah satu atau kombinasi dari
empat cara ini, yaitu (1) memberi wawasan serta kesadaran akan misi,
membangkitkan kebanggaan, serta menumbuhkan sikap hormat dan kepercayaan pada
para bawahannya (Idealized Influence - Charisma), (2) menumbuhkan ekspektasi
yang tinggi melalui pemanfaatan simbol-simbol untuk memfokuskan usaha dan
mengkomunikasikan tujuan-tujuan penting dengan cara yang sederhana
(Inspirational Motivation/leadership), (3) meningkatkan intelegensia,
rasionalitas, dan pemecahan masalah secara seksama (Intellectual Stimulation),
dan (4) memberikan perhatian, membina, membimbing, dan melatih setiap orang
secara khusus dan pribadi (Individualized Consideration). Pemimpin yang seperti
ini akan dianggap oleh rekan-rekan atau bawahan mereka sebagai pemimpin yang
efektif dan memuaskan.
Bass dalam bentuk asli memuat 12
faktor pengukuran kepemimpinan tranformasional yang meliputi item mengenai
atribut charisma, idealized influence, inspirational leadership, intellectual
stimulation, individual consideration, contingent reward, management by
exception active, management by exception passive, laissez faire leadership,
extra effort, effecitveness, dan satisfaction.
Berangkat dari perspektif Bass yang
dalam bentuk aslinya memuat 12 faktor pengukuran kepemimpinan tranformasional
yang meliputi item mengenai atribut charisma, idealized influence,
inspirational leadership, intellectual stimulation, individual consideration,
contingent reward, management by exception active, management by exception
passive, laissez faire leadership, extra effort, effecitveness, dan
satisfaction. 12 belas komponen pengukuran ini selanjutnya ada
modifikasi-modifikasi yang akan mengarah dan berkaitan dengan adanya perubahan
dan perbaikan dalam sebuah kehidupan berorganisasi.
Meskipun Bass membuat pengukuran perilaku kepemimpinan transformasional dalam 12 perilaku seperti tergambat diatas penelitian ini hanya akan melihat fenomena penelitian hanya dari sudut pandang empat perikau saja, empat perilaku tersebut sebagai berikut:
Meskipun Bass membuat pengukuran perilaku kepemimpinan transformasional dalam 12 perilaku seperti tergambat diatas penelitian ini hanya akan melihat fenomena penelitian hanya dari sudut pandang empat perikau saja, empat perilaku tersebut sebagai berikut:
simulasi
intelektual, dan memiliki kharisma.
Kepemimpinan
transformasional merupakan pendekatan terakhir yang hangat dibicarakan selama
dua dekade terakhir ini. Bahkan menurut Luthan (2005) dan Robbins (2003),
kepemimpinan transformasional termasuk dalam teori kepemimpinan modern. Gagasan
awal mengenai model kepemimpinan transformasional dikembangkan oleh James
McGregor Burns yang menerapkannya dalam konteks politik dan selanjutnya ke
dalam konteks organisasional oleh Bernard Bass dalam Pidekso (2001). Menurut
Burns untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang kepemimpinan
transformasional maka perlu dipertentangkan dengan Kepemimpinan Transaksional.
Kepemimpinan
Transaksional didefinisikan sebagai kepemimpinan yang menekankan pada suatu
proses pertukaran (exchange process) antara pemimpin dan bawahan, dimana para
pengikut mendapat imbalan yang segera dan nyata untuk melaksanakan
perintah-perintah pemimpin. Menurut Robbins (2003) pemimpin transaksional
adalah pemimpin yang memandu atau memotivasi para pengikut mereka menuju ke
sasaran yang ditetapkan dengan memperjelas persyaratan peran dan tugas.
Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di
dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa
seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya
untuk mencapai tujuan organisasi. Di samping itu pemimpin transaksional
cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi. Untuk
memotivasi agar bawahan melakukan tanggung jawab mereka, papa pemimpin
transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman
kepada bawahannya.
Sementara itu kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang dipertentangkan dengan kepemimpinan yang memelihara status quo. Kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh diartikan sebagai kepemimpinan yang sejati karena kepemimpinan ini sungguh bekerja menuju sesaran pada tingkatan mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah diraih sebelumnya. Para pemimpin secara riil harus mampu mengarahkan organisasi menuju arah baru demikian Locke (1997) dalam Pidekso (2001).
Sementara itu kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang dipertentangkan dengan kepemimpinan yang memelihara status quo. Kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh diartikan sebagai kepemimpinan yang sejati karena kepemimpinan ini sungguh bekerja menuju sesaran pada tingkatan mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah diraih sebelumnya. Para pemimpin secara riil harus mampu mengarahkan organisasi menuju arah baru demikian Locke (1997) dalam Pidekso (2001).
Burns (1998) menyatakan bahwa
kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu
memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggung jawab mereka lebih dari
yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan,
mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus
menerima dan mengakui pemimpinnya. Dimensi perilaku kepemimpinan
transformasional menuntut kesadaran pemimpin tentang visi, kepercayaan diri,
dan kekuatan untuk bertahan terhadap sesuatu yang diyakini sebagai benar dan
baik, bukan sekedar untuk mendapatkan popularitas dan kemapanan. Dari aspek
intelektual, pemimpin transformasional tidak puas hanya dengan pemecahan
masalah yang bersifat parsial atau menerima keadaan status quo atau melakukan
seperti yang biasa dilakukan. Mereka suka mencari cara-cara baru untuk
mendapatkan manfaat yang maksimum dan peluang meskipun dengan resiko yang
tinggi atau berat. Dalam berpikir mereka lebih proaktif dibanding reaktif,
dalam gagasan mereka lebih inovatif dan kreatif, dalam ideologi mereka lebih
radikal dan reaksioner dibanding konservatif, serta mereka tidak mengalami
hambatan berpikir dalam upayanya mencari pemecahan masalah.
Bass
dan Avolio (1993) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai
empat dimensi atau aspek yang disebut sebagai "the Four l's", yaitu :
1. Idealized Influence - Charisma.(Pengaruh Ideal-Kharisma).
1. Idealized Influence - Charisma.(Pengaruh Ideal-Kharisma).
Pemimpin mendahulukan kepentingan perusahaan dan kepentingan
orang lain dari kepentingan sendiri. Sebagai pemimpin perusahaan ia bersedia
memberikan pengorbanan untuk kepentingan perusahaan. Ia menimbulkan kesan pada
bawahannya bahwa ia memiliki keahlian untuk melakukan tugas pekerjaannya,
sehingga patut dihargai. Ia memberikan wawasan serta kesadaran akan misi,
membangkitkan kebanggaan serta menumbuhkan sikap hormat dan kepercayaan dada
para bawahannya.
2. Inspirational Motivation (Motivasi Inspirasi)
Pemimpin mampu menimbulkan inspirasi pada bawahannya, antara
lain dengan menentukan standar-standar tinggi, memberikan keyakinan bahwa
tujuan dapat dicapai. Bawahan merasa mampu melakukan tugas pekerjaannya, mampu
memberikan berbagai macam gagasan. Mereka merasa diberikan inspirasi oleh
pemimpinnya.
3. Intellectual S:itnulation (Rangsangan Intelektual).
Pemimpin mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi
yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan
memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang
baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi.
4. Individual Consideration (Pertimbangan Individu).
4. Individual Consideration (Pertimbangan Individu).
Pemimpin mau mendengarkan dengan penuh perhatian
masukan-masukan bawahan dari secara khusus rnau memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Selain itu memberikan
perhatian, membina, membimbing, dan melatih setiap orang secara khusus dan
pribadi. Pemimpin menimbulkan rasa mampu pada bawahannya bahwa mereka dapat
melakukan pekerjaannya, dapat memberi sumbangan yang berarti untuk tercapainya
tujuan kelompok.
Beberapa ahli manajemen menjelaskan
konsep-konsep kepemimpinan yang mirip dengan kepemimpinan transformasional
sebagai kepemimpinan yang kharismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi
(visionary). Meskipun terminologinya berbeda namun fenomena-fenomena
kepemimpinan yang digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih banyak
persamaannya daripada perbedaannya. Bryman (1992) dalam Daryanto (2005)
menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new
leadership), sedangkan Sarros dan Buthchatsky (1996) dalam Daryanto (2005)
menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership). Disebut
penerobos karena pemimpin semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa
perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun
organisasi dengan jalan memperbaiki kembali karakter diri individu-individu
dalam organisasi ataupun perhatikan organisasi, memulai proses penciptaan
inovasi, meninjaui kembali proses dan nilai-nilai organisasi agar Iebih baik
dan Iebih ralevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak
yang terlibat dan mencoba merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama
ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan.
B. KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DALAM ISLAM.
Wacana kepemimpian dalam dunia Islam
yang utuh digali dari teks suci agama (al-Qur’an) mulai menjadi gelombang besar
pada akhir abad 19 setelah sebelumnya melemah karena menguatnya gelombang
pengembangan ilmu pengetahuan melalui pengkajian langsung terhadap sumber
pengetahuan berupa perilaku manusia dan gejala alam semesta raya ini. Keadaan
itu terjadi karena Eropa telah terbukti berhasil membangun dan mengembangkan
peradabannya sampai sekarang dengan melandaskan epistemologi pengetahuannya
dalam bentuk demikian, ditambah lagi politik pengetahuan yang menghegemoni
terhadap penduduk dunia lainnya sehingga bentuk epistemologi ini menjadi begitu
kokoh, kuat dan tak terbantahkan karena menguatkanya apresiasi penduduk dunia
lainnya.
Kepemimpinan transformasional perspektif Islam dalam kajian ini tidaklah dibangun dengan kerangka pikiran dikotomis antara ayat Allah SWT yang verbal berupa al-Qur’an dan ayatNya yang non verbal berupa perilaku manusia dan gejala alam semesta. Oleh karena itu, dalam membincang kepemimpinan transformasional dalam perspektif Islam tidak perlu dimulai dari nol, tetapi dapat memanfaatkan perilaku kepemimpinan manusia dan teori-teori kepemimpinan yang sudah ada termasuk teori Transformational Leadership barat dengan melakukan saling menguji, saling dialog, saling melakukan revisi dan saling melakukan modifikasi, saling melengkapi atau mengurangi (antara al-Qur’an dan perilaku manusia/gejala alam semesta) sehingga dapat dibangun kesimpulan yang paling mendekati kebenaran hakiki.
Hal ini berdasarkan pemahaman adanya dua ragam tanda (sign/ayat) Tuhan yang perlu diketahui. Pertama tanda-tanda (ayat-ayat) yang bercorak linguistik verbal dan menggunakan bahasa insani (bahasa Arab/bahasa Qur’ani). Kedua, tanda-tanda (ayat-ayat) yang bercorak nonverbal berupa perilaku manusia dan gejala alam. Keduanya diturunkan Allah untuk manusia agar mereka menelaah dan memahaminya. Kedua ayat itu menduduki posisi yang sama (sama-sama berasal dari Allah SWT.) sebagai sumber inspirasi dalam membincang kepemimpinan transformasional perspektif Islam.
Kepemimpinan transformasional perspektif Islam dalam kajian ini tidaklah dibangun dengan kerangka pikiran dikotomis antara ayat Allah SWT yang verbal berupa al-Qur’an dan ayatNya yang non verbal berupa perilaku manusia dan gejala alam semesta. Oleh karena itu, dalam membincang kepemimpinan transformasional dalam perspektif Islam tidak perlu dimulai dari nol, tetapi dapat memanfaatkan perilaku kepemimpinan manusia dan teori-teori kepemimpinan yang sudah ada termasuk teori Transformational Leadership barat dengan melakukan saling menguji, saling dialog, saling melakukan revisi dan saling melakukan modifikasi, saling melengkapi atau mengurangi (antara al-Qur’an dan perilaku manusia/gejala alam semesta) sehingga dapat dibangun kesimpulan yang paling mendekati kebenaran hakiki.
Hal ini berdasarkan pemahaman adanya dua ragam tanda (sign/ayat) Tuhan yang perlu diketahui. Pertama tanda-tanda (ayat-ayat) yang bercorak linguistik verbal dan menggunakan bahasa insani (bahasa Arab/bahasa Qur’ani). Kedua, tanda-tanda (ayat-ayat) yang bercorak nonverbal berupa perilaku manusia dan gejala alam. Keduanya diturunkan Allah untuk manusia agar mereka menelaah dan memahaminya. Kedua ayat itu menduduki posisi yang sama (sama-sama berasal dari Allah SWT.) sebagai sumber inspirasi dalam membincang kepemimpinan transformasional perspektif Islam.
Ulasan tentang konsep kepemimpinan trnsformasional baik yang dikaji dari
ayat Tuhan yang verbal (al-Qur’an) maupun yang nonverbal (perilaku manusia dan
gejala alam semesta) titik persamaannya adalah dalam memposisikan “perubahan”
dan “perbaikan” sebagai titik berangkat dan tujuan organisasi. Adapun
perpedaannya adalah konsep yang dikaji dari ayat Tuhan yang berupa perilaku
manusia dan gejala alam semesta seringkali terlalu antroposentris bahkan
mengalami keterputusan dengan hal yang teosentris. Sedangkan konsep yang dikaji
langsung dari ayat Tuhan yang verbal (al-Qur’an) seringkali terlalu terjebak
kepada teosentris sehingga terkesan konsep yang dibangun tidak kontektual yang
sesuai dengan psikososial manusia.
Konsep transformational leadership sudah banyak diberbincangkan di barat
khususnya pada akhir-akhir ini. Meskipun demikian, pembahasan di bagian ini
bukan gejala dari alih-alih dan akuisisi pengetahuan, dengan jalan mencari-cari
atau mengganti landasan dasar dari sebuah teori pengetahuan yang sudah ada
sebelumnya dengan al-Qur'an. karena tulisan ini tidaklah dibangun dengan
kerangka pikiran dikotomis antara ayat Allah SWT yang verbal berupa al-Qur’an
dan ayatNya yang non verbal berupa hamparan alam semesta dan gejalanya.
Lahirnya perubahan (transformasi) yang lebih baik merupakan inti dari usaha- usaha yang dilakukan oleh jamak manusia di dunia ini. Perubahan dan perbaikan merupakan inti dari aktivitas sebuah kepemimpinan. Dengan demikian term transformasi menjadi hal yang sangat signifikan dan relevan. Usaha agama, usaha pengetahuan, usaha ekonomi, usaha politik, usaha kebudayaan, usaha pendidikan, usaha manajemen, usaha kepemimpinan dan lain sebagainya merupakan serangkaian yang dilakukan oleh manusia untuk menuju perubahan (transformasi) yang lebih baik.
Lahirnya perubahan (transformasi) yang lebih baik merupakan inti dari usaha- usaha yang dilakukan oleh jamak manusia di dunia ini. Perubahan dan perbaikan merupakan inti dari aktivitas sebuah kepemimpinan. Dengan demikian term transformasi menjadi hal yang sangat signifikan dan relevan. Usaha agama, usaha pengetahuan, usaha ekonomi, usaha politik, usaha kebudayaan, usaha pendidikan, usaha manajemen, usaha kepemimpinan dan lain sebagainya merupakan serangkaian yang dilakukan oleh manusia untuk menuju perubahan (transformasi) yang lebih baik.
Dalam al-Qur’an semangat perubahan,
revolusi termasuk transformasi dapat menemukan pijakan epistemologisnya dari
beberapa ayat yang menceritakan tentang para nabi dan rasulullah yang
revolusioner semisal cerita Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad SAW dan beberapa
ayat yang tertera lafadz al-Hijrah, dan al-Jihadu. Berangkat dari identifikasi
ayat-ayat bersemangat transformasi dengan kata-kata kunci seperti diatas kita
akan dapat memulai mengkonsepsikan tentang kepemimpinan transformasional dan
perilakunya dalam perspektif Islam (al-Qur’an).
C. Kepemimpinan
Kultural.
Kepemimpinan
Kultural sangat terkait dengan budaya atau tradisi organisasi. Perilaku yang
diterapkan akan mewarnai budaya organisasinya baik dengan menemukan berbagai
budaya baru (inovatif) maupun dengan mempertahankan (maintenance) berbagai
budaya lama yang sudah ada. Beberapa ciri dari Kepemimpinan Kultural antara
lain :
1. Memiliki visi dan misi yang mengarah pada ideologi baik yang
radikal dengan mengubah budaya yang sudah ada maupun konservatif dengan
memepertahankan budaya sebelumnya.
2. Kualitas pribadi, dimana pemimpin memiliki rasa percaya diri,
kepribadian yang dominan, ekspresif atau sebaliknya percaya pada kelompok,
fasilitator dan persuasif.
3. Perilaku kepemimpinan, dimana pemimpin memberikan peran yang
efektif kepada bawahan, pandai memotivasi, selalu meningkatkan rasa percaya
diri pegawai, memperhatikan kompetensi bawahan, pandai mengartikulasikan
idiologi, dan menyerukan cita-cita yang tinggi.
4. Tindakan administratif yang mengarah pada perubahan struktur
organisasi dengan strategi-strategi baru atau memperkuat struktur yang ada
dengan mengubah struktur sedikit demi sedikit.
5. Penggunaan nilai/tradisi dengan menciptakan berbagai tradisi
baru atau meneruskan tradisi yang sudah ada yang dinilai baik, 6. Para pengikut
memiliki kepercayaan bahwa pimpinan memiliki berbagai kemampuan yang luar biasa
yang dibutuhkan terutama pada saat krisis atau transisi.
Melihat
perspektif diatas, maka kepemimpinan kultural adalah kepeimpinan yang mempunyai
ideologi keperpihakan terhadap budaya atau nilai-nilai yang sudah ada
sebelumnya. Jika nilai itu sudah kurang menarik atau cendrung menghambat ia
akan memodifikasinya tanpa merubah identitas aslinya sehingga akar jatidiri
budayanya tidak akan hilang.
D. Kesimpulan
Kepemimpinan transformasional adalah
kepemimpinan yang dipertentangkan dengan kepemimpinan yang memelihara status
quo. Kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh diartikan
sebagai kepemimpinan yang sejati karena kepemimpinan ini sungguh bekerja menuju
sasaran pada tindakan mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak
pernah diraih sebelumnya.
Kepemimpinan kultural adalah kepeimpinan yang mempunyai
ideologi keperpihakan terhadap budaya atau nilai-nilai yang sudah ada
sebelumnya. Jika nilai itu sudah kurang menarik atau cenderung menghambat ia
akan memodifikasinya tanpa merubah identitas aslinya sehingga akar jatidiri
budayanya tidak akan hilang.
Relevansi kepemimpinan transformasional dan cultural
sebenarnya saling berkaitan, hanya saja kepemimpinan cultural cenderung lebih
mempertahankan nilai-nilai tradisi yang sudah eksis tanpa memberikan perubahan
yang revolusioner, dengan alas an mempertahankan budaya yang sudah berlaku.
Sementara kepemimpinan transformasional mempunyai tindakan lebih mengacu pada
visi misi organisasi sehingga kepemimpinan model ini dipandang lebih modern.
Daftar Pustaka Lengkap:
1. Arifin, Imron. 1996. Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-Ilmu Social dan Keagamaan Penelitian. Malang: Kalimasahada Press.
2. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta.
3. As Suwaidan, Muhammad Thariq. Sukses Menjadi Pemimpin Islami. Shina’atu Al-Qa’id. Terj: Samson Rahman. 2005. Jakarta: Magfirah Pustaka.
4. Bafadal, Ibrahim. 1994. Proses Perubahan di Sekolah Studi Multi Situs Pada Tiga Sekolah Dasar yang baik Di Sumekar. Disertasi, Malang: PPS IKIP.
5. Bafadal, Ibrahim. 2002. Manajemen Akselerasi Mutu Sekolah Dasar Penelitian Tindakan Kelembagaan. Jurnal Filsafat, Teori dan Praktik Kependidikan. 29 (2)..
6. Bogdan, R.C dan Biklen, S.K. 1992. Qualitative Research for Education, an Introduction to Theory and Methods, Boston, Allyn and Bacon Inc.
7. Mar’at. 1985. Pemimpin & Kepemimpinan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
8. Nawawi, Hadari. 2001. Kepemimpinan Menurut Islam. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
9. Nawawi, Hadari. 2003. Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Yogjakarta: Gadjah Mada University Press.
1. Arifin, Imron. 1996. Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-Ilmu Social dan Keagamaan Penelitian. Malang: Kalimasahada Press.
2. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta.
3. As Suwaidan, Muhammad Thariq. Sukses Menjadi Pemimpin Islami. Shina’atu Al-Qa’id. Terj: Samson Rahman. 2005. Jakarta: Magfirah Pustaka.
4. Bafadal, Ibrahim. 1994. Proses Perubahan di Sekolah Studi Multi Situs Pada Tiga Sekolah Dasar yang baik Di Sumekar. Disertasi, Malang: PPS IKIP.
5. Bafadal, Ibrahim. 2002. Manajemen Akselerasi Mutu Sekolah Dasar Penelitian Tindakan Kelembagaan. Jurnal Filsafat, Teori dan Praktik Kependidikan. 29 (2)..
6. Bogdan, R.C dan Biklen, S.K. 1992. Qualitative Research for Education, an Introduction to Theory and Methods, Boston, Allyn and Bacon Inc.
7. Mar’at. 1985. Pemimpin & Kepemimpinan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
8. Nawawi, Hadari. 2001. Kepemimpinan Menurut Islam. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
9. Nawawi, Hadari. 2003. Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Yogjakarta: Gadjah Mada University Press.
Komentar
Posting Komentar